Selasa, 04 Mei 2010

Pengalaman Pahit Rasulullah SAW di Thaif

Thaif dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke Thaif untuk melakukan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619 Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW pada 620 Masehi.

Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah ini yang disegani oleh kaum musyrik Qurais, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika warga kota Thaif mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.

Rasulullah Memaafkan Pembunuh Pamannya



Perang Uhud meninggalkan kesan yang amat dalam bagi pribadi Rasulullah dan para sahabat. Tewasnya Hamzah bin Abdul Muthalib sang paman yang menjadi pembela utama mempunyai arti yang sangat besar. Sebenarnya bukan kematian itu yang menyedihkannya tetapi perlakuan yang diluar batas terhadap mayat pamannya oleh istri Abu Sufyan yang bernama Hindun. Perempuan itu benar-benar ingin melampiaskan balas dendamnya karena banyak di antara keluarganya yang terbunuh ketika perang Badar.

Ketika itu pasukan kaum Muslimin dipimpin langsung oleh Rasulullah berhadapan dengan kaum musyrikin yang dipimpin langsung oleh Abu Sufyan. Dalam peristiwa perang Uhud tokoh Hamzah bin Abdul Muthalib dipercaya memegang komando penting mengobarkan semangat jihad. Abu Sufyan selalu berusaha  melakukan berbagai taktik untuk meneror Rasulullah agar semangat utusan Allah ini kendur antara lain dengan cara memusnahkan orang yang menjadi pembelanya.

Rasulullah Dan Nenek Tua



Pada suatu hari, di kota Mekkah, Rasulullah melihat seorang wanita tua yang tengah menunggu seorang yang bisa dimintai tolong membawakan barangnya. Benar saja begitu Rasulullah lewat didepannya, ia memanggil, “Ya Ahlal Arab! Tolong bawakan barang ini. Nanti akan ku bayar!”

Rasulullah sebenarnya sengaja lewat dihadapan nenek itu karena bermaksud hendak menolongnya. Maka ketika Rasulullah menghampirinya, beliau segera mengankat baran-barang itu seraya berkata, “Aku mengangkatkan barangmu tanpa bayaran.”

Kesabaran Rasulullah Menghadapi Ancaman Orang Quraisy



Sesudah putus asa karena menghalangi Nabi Muhammad dengan cara kekerasan ternyata tidak menggentarkan Rasulullah saw dan para pengikutnya, Abu Jahal lalu mendatangi Abu Thalib, paman dan pelindung Rasulullah. Abu Jahal meminta agar disampaikan kepada Muhammad bahwa ia akan memberikan apa saja yang dikehendaki Muhammad; gadis-gadis yang paling cantik, harta kekayaan yang melimpah, atau kedudukan terhormat dalam jajaran kepemimpinan bangsa Arab. Abu Thalib segera menyampaikan tawaran Abu Jahal dan suku Quraisy itu kepada Nabi saw.

Dengan tegar Nabi mengatakan, “Demi Allah, wahai pamanku. Andaikata diletakan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku, supaya saya menggagalkan perjuangan menegakan kebenaran, saya takkan surut, sampai tercapai kemenangan atau saya hancur binasa dalam perjuangan.” Itulah benih kegigihan dan ketangguhan Rasulullah semenjak awal perjuangan. Ternyata sifat beliau tidak berubah walaupun sudah berhasil menjadi pemimpin umat yang agung dan disegani.

Kesabaran Rasulullah Menghadapi Umatnya

Diriwayatkan seorang lelaki bangsa Arab bernama Tsamamah bin Itsal dari Kabilah al-Yamamah, pergi ke Madinah Al-Munawarah dengan tujuan hendak membunuh Nabi saw. Dengan tekad bulat dan semangat kuat ia pergi ke majelis Rasulullah saw.

Umar bin Khatthab sudah mencium maksud jahat kedatangan orang itu. Maka ia pergi menghampirinya dan langsung mengusut, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”

Orang itu terang-terangan berkata, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”

Kesabaran Rasulullah Ketika Diludahi

Bukan hanya sekali saja Nabi dihina. Bahkan ada seorang wanita tua yang berani mencerca Nabi. Setiap kali Nabi melintas muka rumahnya, kala itu pula si wanita meludahkan air liurnya, “cuh,cuh,cuh.” Peristiwa itu berulangkali terjadi, bahkan hampir setiap hari.

Suatu kali, ketika Nabi lewat di depan rumahnya, si wanita tadi tak lagi meludahinya. Bahkan, batang hidungnya saja tak kelihatan pula. Nabi pun menjadi “kangen” akan air ludah si wanita tadi. Karena penasaran, Nabi lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau, dimanakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?”